Sumber : Astiti Jaya, 28 Maret 2025
Umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali dan Lombok, merayakan Tahun Baru berdasarkan kalender tradisional Bali Saka, yang menghitung waktu berdasarkan pergerakan Bulan dan Matahari, berbeda dengan Kalender Masehi yang umum digunakan. Salah satu perayaan penting dalam Kalender Saka adalah Hari Raya Nyepi, yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kesanga. Sebagai bagian dari perayaan ini, umat Hindu melaksanakan serangkaian upacara, salah satunya adalah Upacara Mecaru. Mecaru adalah sebuah upacara atau ritual persembahan yang dilakukan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan keharmonisan dengan Tuhan, roh leluhur, serta alam semesta. Dalam tradisi Bali, ada dua jenis Mecaru yang berbeda dalam pelaksanaannya, yaitu Mecaru Manca Sanak dan Mecaru Brumbun. Mecaru Manca Sanak biasanya melibatkan kelompok keluarga besar atau masyarakat, sementara Mecaru Brumbun lebih fokus pada kelompok kecil, seperti keluarga inti atau komunitas tertentu, dengan pelaksanaan yang lebih sederhana. Secara singkat, perbedaan utama antara Mecaru Manca Sanak dan Mecaru Brumbun terletak pada skala atau cakupan pelaksanaan upacara. Menjelang perayaan Nyepi, salah satu keluarga di Mataram, tepatnya di lingkungan Gedur, yaitu keluarga Bu Mundra, memutuskan untuk melaksanakan upacara Mecaru Brumbun. Ritual ini dipilih karena lebih sederhana namun sarat makna, “Tahun ini saya memilih untuk mengambil mecaru brumbun saja, lagi pula anak cucu saya banyak jadi semua bisa saling membantu dan melengkapi apa saja yang diperlukan, dan menantu saya bisa lebih kompak.” ujar bu Mundra. Keluarga ini merasa penting untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga kecil mereka dan menuntut keselamatan serta kesejahteraan sepanjang tahun. Mereka memilih untuk melaksanakan upacara tersebut bersama-sama di halaman rumah, dengan tujuan agar kedamaian dan kebersamaan tetap terjaga dalam lingkungan keluarga. Upacara Mecaru Brumbun dilaksanakan dengan penuh kekhidmatan. Keluarga Bu Mundra menyiapkan berbagai macam Banten, seperti bunga, buah,dupa,caru dan ayam berumbun, yang dipersembahkan sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan, leluhur, dan alam semesta. Setiap anggota keluarga memilikinya masing-masing, mulai dari menata sesaji hingga menyalakan dupa dan sambuk. Meskipun ritualnya sederhana, makna yang terkandung di dalamnya sangat mendalam, yaitu untuk mempererat ikatan batin antar anggota keluarga serta memohon agar kehidupan mereka selalu terjamin dengan keselamatan dan ketenangan. Melalui upacara ini, mereka berharap dapat menjaga keseimbangan dalam keluarga dan hidup harmonis dalam menjalani tahun yang baru.
Jurnalis : Ni Luh Astiti Jaya Ningsih
Editor : NI Nengah Dwi Ariyantari
Redaktur : I Nengah Angga Sumardiana Putra