Sumber : Nengah Dwi, 28 Maret 2025
Mataram – Suasana Kota Mataram tampak semarak dengan arak-arakan ogoh-ogoh yang digelar pada Jumat 28 Maret 2025 sore menjelang perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947. Ribuan warga tumpah ruah ke jalan untuk menyaksikan parade budaya yang menjadi tradisi sakral umat Hindu. Parade ogoh-ogoh ini diikuti oleh Sekha Teruna Teruni Kota Mataram, kegiatan ini dilaksanakan depan kantor Lurah Cakranegara Barat, di Jalan Pejanggik. Kegiatan ini juga di meriahkan dengan adanya Belaganjur dan Gamelan yang di mainkan pada saat mengarak ogoh-ogoh.
Salah satu ogoh-ogoh yang memiliki makna menarik dibuat oleh Stt. Yasa Werdhi Karang Kubu keling. Ogoh-ogoh yang ditampilkan adalah Dalem Bungkut, sosok raksasa bertubuh besar dengan ekspresi garang,rambut panjang berwarna putih mengenakan mahkota emas, mata melotot tajam, dan gigi bertaring mencuat keluar, postur tubuh bungkuk,tangan yang memegang keris pusaka, mengenakan anting besar khas serta kain poleng bermotif klasik Bali yang melilit pinggangnya merupakan sebuah gambaran nyata dari sosok antagonis dalam mitologi Bali.
Karakter Dalem Bungkut berasal dari cerita rakyat kuno di Nusa Penida, sebuah tokoh mistis yang dipercaya sebagai pengikut setia dari I Ratu Gede Macaling, penguasa gaib Pulau Nusa Penida. Dalam kisahnya, Dalem Bungkut adalah sosok pemimpin pasukan makhluk halus yang suka mengganggu ketenangan umat manusia, simbol dari kekacauan, keangkuhan, dan kegelapan batin.
Namun dibalik wujudnya yang menyeramkan, kehadiran Dalem Bungkut memiliki makna mendalam. Ia adalah manifestasi dari sifat buruk manusia yang harus “Dibuang” menjelang Hari Suci Nyepi. Melalui parade Ogoh-ogoh dan proses pembakaran, masyarakat melambangkan pembersihan diri dari unsur adharma (ketidak seimbangan/keburukan), serta menyeimbangkan kembali kekuatan alam semesta.
Desain Dalem Bungkut ini menunjukkan kemahiran seni para Teruna Teruni, pembuatan ogoh-ogoh ini sekitar dua bulan dan menghabiskan dana sebesar 6 juta rupiah. Detail anatomi yang realistis, teknik pewarnaan yang kontras, dan penggunaan material lokal seperti bambu dan ijuk menjadi nilai tambah artistik. Pencahayaan malam menambah kesan magis dan mencekam saat ogoh-ogoh ini diarak, seolah benar-benar menghidupkan legenda yang telah lama pudar.
Jurnalis : Ni Nengah Dwi Ariyantari
Editor : I Nengah Angga Sumardiana Putra
Redaktur : Ni Luh Astiti Jaya Ningsih